Di suatu magrib yang mendung, aku dan Ney melanglang-jalan ke ii kabupaten hujan abu. Tiba-tiba, aku teringat plong sebuah lagu nan pernah kutahu di waktu dahulu dan mutakadim lama terlupakan. Aku pun mengajak Ney bermain-main dengan kenangan.
“Engkau tahu lagu ini, gak?” Aku menyanyikan sebuah lagu dengan enigmatis-samar.
“Iya iya, aku tahu,” jawab Ney. Awalnya anda terlihat ragu, tapi ia bermoral mengetahuinya.
Kami kemudian menyedang mengingat liriknya, menyanyikan lagu itu dengan lengkap. Sedikit tertatih, kami merayau kenangan.
Sio tantina, burung tantina
Mati dipanah paduka tuan nirwana
Sio tantina, burung tantina
Nyenyat dipanah raja nirwana
Sakitnya bukan sakit penyakit
Kabarnya datang dari Sri Rama
Sakitnya tak linu keburukan
Kabarnya datang dari Sri Rama
“Kamu, kok, tahu lagu itu?” pertanyaan Ney.
Tinggal, Papa doyan menyanyikan lagu itu. Kira-sangka aku masih SD. Aku jadi gemar juga menyanyikannya. Malah, kalau enggak salah, perhubungan ketika ada lomba melagu di sekolah, aku hampir membawakan lagu itu.
“Kalau kamu?” tanyaku balik sreg Ney.
Pendatang mainan langganannya suka menyanyikan lagu itu. Ia yakni sendiri lelaki Tionghoa, kurus, berkacamata, berambut tahir semua. Tiap bisa jadi Ney nomplok, maskulin itu melantunkan lagu tentang zakar tantina.
Iya, titel lagu itu yaitu Butuh Tantina. Sepulang kronologi-jalan, aku mengejar publikasi tentang lagu itu sangat internet. Tak banyak yang kudapat, selain bahwa lagu itu mulai sejak dari Maluku. Aku menemukan sejumlah partiturnya di tampilan mesin pencari, juga video lagu itu, termasuk yang dibawakan grup jazz bandanaira–Zakar Tantina terdengar aneh dengan aransemen ini, kehabisan kesejatian nadanya (tak suka!).
Namun, terserah suatu hasil pencarian yang menyeret, yaitu sebuah blog nan menampilkan
artwork aktual hasil visual interpretasi lagu-lagu daerah, pelecok satunya lagu Burung Tantina. Begini nan ditulis dalam blog tersebut.
Lagu Burung Tantina ini berbunga bersumber Maluku. Cukup individual mengingat Sri Rama adalah Dewa Hindu padahal di Maluku sangat cacat dijumpai pusaka Hindu. Ilustrasi menceritakan mengenai zakar Tantina yang dipanah maka dari itu Raja Nirwana, yakni Dewa Sri Rama. Burung tantina yang dipanah tiduran di antara bujukan solid dengan panah masih menancap. Sri Rama melihat dari atas nirwana / nirvana. (
http://whenlifeisabout.blogspot.com/2014/05/rupanada.html)
Selain kagum plong penggambaran yang tertuang di sana, aku juga jadi tersadar, kalau dipikir-pikir, lirik lagu Titit Tantina itu memang “aneh”, ya. Mungkin moralistis apa yang ditulis dalam blog tersebut, di Maluku sangat sedikit dijumpai peninggalan Hindu, sementara lirik lagu Ceceh Tantina sarat kehinduan. Ada sri paduka nirwana, ada Sri Rama. Lantas, yang jadi pertanyaanku, sebagaimana apa burung tantina itu?
Maluku terkenal dengan lagu-lagu burung. Cak semau Ceceh Kakatua, Titit Tantina. Mungkin, di Maluku memang banyak butuh. Sekadar tetapi, kalau burung kakatua kita tahu penampakkannya, tapi burung tantina itu sama dengan apa, ya?
Aku mencari-cari, seperti apa burung tantina itu. Tapi, aku tidak menemukannya, atau belum, aku tidak tahu. Aku pun makara penasaran tanya liriknya yang unik itu. Benarkah burung tantina benar-benar ada? Atau, ia hanya semacam fon, tentang keberuntungan Hindu, semacam penaklukkannya terhadap sesuatu? Entahlah…
Aku cak hendak sekali meminta Ney buat mengaransemen lagu ini. Sebelum aku memintanya, ia telah bertambah lampau mengungkapkan, “Lusa aku bikin aransemen Burung Tantina.”
Aku senang mendengarnya. Aku ingin Ney membuatnya dengan bagus tanpa menghilangkan keaslian nadanya. Kita lihat hasilnya nanti.
Ingatanku yang mendadak pada sebuah lagu provinsi yang pernah kutahu dan malah telah terabai sejauh ini, membawa rasa tertentu buatku. Pertama, aku sungguh tak menyangka, bahwa di generasiku, terserah anak adam yang juga mengenal lagu ini, yaitu Ney. Kupikir, bahkan tak akan ada yang senggang–makhluk-orang pada masaku–bahwa lagu ini aliansi tercipta di muka bumi. Kedua, lagu Burung Tantina ternyata unik. Nadanya yang sederhana dengan lirik nan bukan lazim itu, seperti mantra atau semacamnya, membuat rasa penasaran khusus. Ditambah, hampir bukan ada yang mengungkap makna di balik lirik tersebut. Tidakkah kamu merasa lagu ini “aneh” pula?
Ah, nah. Nusantara memang “misterius”, kok. Sekurang-kurangnya, itulah yang kupikir. Banyak sekali yang enggak kutahu tentangnya. Belum lagi, lalu semuanya merupakan kerajaan-imperium, orang-hamba allah atma intern folklor, takhayul betebaran di mana-mana. Kita tidak akan tahu tentu sumber akar dari segala sesuatu yang kita kenal waktu ini ini. Lain terkecuali, lagu Kalam Tantina.
Umpama saja dahulu papaku alias pedagang-Tionghoa tua itu bukan pernah menyuarakan lagu Burung Tantina, mana tahu hingga sekarang aku dan Ney lain akan mencoba menyadari lagi, meraba-raba kenangan mengenai sebuah nada.
Burung Tantina Berasal Dari
Source: https://capnonamanis.blogspot.com/2014/11/burung-tantina.html